Homepage Isi Blog Contact Me

Senin, 27 Mei 2013

BUJANG SAMBILAN





Asal Usul Danau Maninjau



Berasal dari cerita rakyat di daerah maninjau Sumatra Barat yang tidak begitu populer dengan cerita rakyat minangkabau lainnya seperti, Malin Kundang, Siti Nurbaya. Cerita ini berawal dari sepuluh anak yang hidup bersama di lereng gunung Tinjau di pelosok ranah minangkabau.



Disebuah daerah Sumatera Barat, ada sebuah gunung merapi yang bernama gunung Tinjau, dipuncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka rajin bertani. Disamping itu, tanah yang ada disekitar gunung tinjau amat subur. Karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung. 

Disalah satu perkampungan gunung tinjau, tinggal sepuluh orang bersaudara, yang terdiri dari sembilan lelaki dan sembilan perempuan yang terdiri dari Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, Kaciak , Siti rasani. Penduduk biasa memanggil mereka dengan nama “bujang sembilan”.  Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan yang bernama Siti Rasani yang akrab dipanggil Sani.

Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga, semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orang tua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap pertanian yang cukup luas, warisan kedua orang tua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu bertani ketika orang tua mereka masih hidup. Disamping itu, mereka juga di bimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang yang akrab mereka panggil Engku.


Datuk Limbatang adalah seorang mamak dikampung itu, dan mempunyai putra bernama Giran. Sebagai mamak, datuk Limbatang mempunyai tanggung jawab besar untuk mendidik dan memperhatikan kehidupan warganya. Termasuk kesepuluh kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali ia berkunjung kerumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka ketrampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula datuk Limbatang menngajak istri dan putranya ikut bersama.


Pada suatu hari ketika datuk Limbatang beserta istri dan Giran berkunjung kerumah Bujang Sambilan. Secara tidak sengaja Sani berpandangan dengan Giran. Rupanya, pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani. 


 “Sudah lama merendam selasih

Barulah kini mau mengembang

Sudah lama kupendam kasih

Baru kini bertemu pandang

“Telah lama orang menekat

Membuat baju kebaya lebar

Sudah lama abang terpikat

Hendak bertemu dada berdebar

“Rupa elok perangaipun cantik

Hidupnya suka berbuat baik

Orang memuji hilir dan mudi

Siapa melihat hati tertarik



“maukah kau menjadi kekasih uda?” Giran menatap lembut ke arah Sani

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran.


“Buah nangka dari seberang

Sedap sekali dibuat sayur

Sudah lama kunanti abang

Barulah kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Melaka

Papan di Jawa saya tegakkan

Jika sungguh kanda berkata

Badan dan nyawa saya serahkan”



Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintanya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa bahagia. Karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung kerumah Bujang Sambilan, bahkan ia sering membantu Bujang Sambilan kerja di sawah.


Ketika musim panen tiba, semua penduduk memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.


Pada hari yang telah di tentukan, seluruh peserta berkumpul di tanah lapang. Suara penontonpun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong tanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadaphadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapapun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu persatu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban. Namun berlum seorangpun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

“Hai Giran! Majulah kalau berani”tantang Kukuban.


Terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kuban. Giran melakukan serangan bertubi-tubi kearah Kukuban. Namun dapat dielakkan dengan mudah oleh Kukuban. Beberapa saat kemudian keadaan menjadi terbalik, Kukuban terus menyerang Giran hingga terdesak, dan kesulitan untuk menghindari serangannya. Hingga Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kearah Giran. Giran tak mampu menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya. Tak disangka, tangkisan Giran itu membuat kaki Kukuban patah, ia tak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang. Sejak itu Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran, karena merasa telah di permalukan di depan umum. Namun dendam tersebut di pendamnya didalam hati.



Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu, bermula ketika suatu malam, ketika cahaya purnama menerangi perkampungan di sekitar gunung tinjau, datuk Limbatang beserta istrinya berkunjung kerumah bujang Sambilan. Kedatangan orang tua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka seperti biasanya. Melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sambilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin menjadikan hubungan kekeluargaan kita semakin erat” ungkap Datuk Limbatang.

“Apa maksud Engku?”Kudun merasa bingung.

“Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?”sambung Kaciak.

“Kami bermaksud menikahkan Giran anak kami dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani”ungkap datuk Limbatang.

“kami merasakan hal yang sama Engku! kami akan merasa sangat senang apabila maksud tujuan Engku seperti itu”sambut Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu terlontar, tiba-tiba terdengar bentakan sangat keras dari Kukuban.

“Tidak! aku tidak setuju dengan pernikahan mereka!” bentak Kukuban atas dendamnya kepada Giran.

Kukuban tidak setuju dengan pinangan Giran kepada Sani. Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam, suasana pun menjadi hening dan tegang. Rupanya Siti Rasani berada didalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka, ia sangat bersedih dengan keputusan kakak sulungnya. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung, begitupula si Giran yang memikirkan hal yang sama. Akhrnya keduanyapun sepakat bertemu di tempat biasa, diladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang mereka hadapi. Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting tersangkut pada sarungnya. Paha sani terluka. Giranpun segera mencari daun dan obat-obatan yang ada di sekitarnya. Setelah itu ia membersihkan darah itu dari paha sani , lalu mengobatinya. Pada saati itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah bujang sembulan dan beberapa penduduk. 


Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa, keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang yang mengintai garak gerik mereka. Mereka semua terlibat percakapan yang sengit. Mereka di tuduh melakukan perbuatan terlarang, dan digiring kekampung menuju ruang persidangan. Kukuban beserta delapan saudaranya dan warga lainnya memberikan kesaksian. Bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun mereka melakukan pembelaan dan dibantu oleh datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung tersebut. Perbuatan sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah gunung Tinjau, agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.


“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”


Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.


Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.


Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar